Sewaktu di
SMA, saya mulai mendengar mengenai seorang hamba Tuhan bernama Dorothy Marx.
Ketika saya menjadi mahasiswa, beberapa kali saya mendengarkan beliau
berkotbah. Kotbah-kotbah beliau, setidaknya yang saya dengarkan bersama
anak-anak muda lainnya memiliki titik berat pada moral dan etika Kristen. Ibu
Marx tidak pernah lelah memberi semangat bagi anak-anak muda Indonesia untuk
kelak menjadi pemimpin yang bersih, bermoral, beretika dan berkarakter. Cara penyampaian kotbahnyapun sangat khas.
Beliau sering menggunakan singkatan-singkatan yang mudah diingat oleh
pendengarnya.
Beberapa
bulan sebelum saya menyelesaikan pendidikan teologi di Chicago, Illinois, saya
bersurat dengan beliau, menyatakan kerinduan saya untuk melayani sebagai
pengajar di Sekolah Tinggi Teologia Bandung (STTB) dimana beliau melayani
sebagai rektor. Surat tersebut saya layangkan pada semester pertama di tahun
1997. Ibu Marx membalas surat tersebut dengan sangat rendah hati dan menyatakan
bahwa ia sangat antusias dengan apa yang sedang saya gumulkan di dalam melayani
Tuhan di Indonesia. Sebenarnya saya hampir yakin bahwa Ibu Marx tidak memiliki
memori yang cukup kuat mengenai siapakan saya pada waktu membalas surat
tersebut.
Saya tiba
di Indonesia bulan Agustus 1997 - mengajar di STT Cipanas dan STT INTI di
Bandung. Ibu Marx mengundang saya untuk menemuinya di STT Bandung. Lalu kamipun
makan siang bersama di Rumah Makan Saung Kabayan di samping STT Bandung.
Percakapan dan makan siang tersebut berlanjut positif: pada awal tahun 1998,
saya mendapatkan kesempatan untuk mengajar di STT Bandung. Selama mengajar di
STT Bandung, saya mengunjungi Ibu Marx beberapa kali untuk makan siang di
rumahnya di Babakan Jeruk. Saya sangat bersyukur untuk setiap kesempatan makan
siang bersama beliau. Ibu Marx adalah seorang yang sangat positif dan
optimistis. Beliau menaruh harapan besar kepada generasi muda Indonesia untuk
membangun bangsa yang jujur.
Selama
mengajar di STT Bandung pula, saya belajar bagaimana Ibu Marx membimbing para
mahasiswanya. Meskipun beliau menjabat sebagai rektor, namun setiap pagi, ia
mengundang mahasiswanya satu persatu untuk berdialog dan berdoa bersamanya.
Perhatian yang diberikannya kepada para mahasiswa mahasiswi STT Bandung
tentunya meninggalkan kesan yang dalam dan tidak mudah untuk dilupakan.
Pada bulan
Agustus 1998, saya meninggalkan Indonesia untuk panggilan pelayanan di Jerman.
Ibu Marx berkali-kali bertanya apakah saya yakin dengan rencana tersebut.
Beliau memberikan evaluasi yang sangat baik dan berharap saya dapat melayani di
STTB lebih lama lagi. Beliau mengatakan bahwa kesempatan untuk berkembang dan
maju terbuka sangat luas di Indonesia. Beliau juga menyampaikan bahwa Indonesia
membutuhkan banyak sekali pendidik-pendidik teologi. Saya menghargai setiap
nasihat yang disampaikan Ibu Marx pada waktu itu, namun saya tetap berangkat ke
Jerman.
Sebelum
saya berangkat ke Jerman, Ibu Marx menyampaikan bahwa ia sedang di dalam proses
menyelesaikan disertasinya di salah satu universitas terbaik di Jerman: Tübingen. Ibu Marx berencana untuk mengunjungi Tübingen selama beberapa bulan dalam rangka
menyelesaikan dissertasinya. Pada sekitar tahun 1999 atau 2000, saya
berkesempatan untuk mengunjungi beliau di Tubingen. Kami bertemu setengah hari
di Tübingen. Ibu Marx
mengajak saya berkeliling kampus Fakultas Teologia di Tübingen. Di masa lalu
Universitas Tübingen adalah pusat teologia liberal di Jerman. Sebenarnya saya
cukup terkejut mendengar bahwa Ibu Marx menempuh pendidikannya di Tübingen.
Namun demikian tanpa diminta, beliau menceritakan kepada saya betapa manusia
itu sangat berbeda-beda di dalam pandangan teologis – yang terpenting adalah
cinta kasih yang murni kepada Tuhan. Bagi ibu Marx, nampaknya iman seseorang
tidak melulu ditentukan dengan tempat dimana ia belajar. Bagi ibu Marx, iman
seseroang ditentukan oleh kecintaan kepada Tuhan dan firman-Nya.
Setidaknya tiga kali
Ibu Marx mengatakan kepada saya bahwa topik dissertasinya yang ditulisnya
datang dari Tuhan melalui firman-Nya di Amsal Salomo (14.34). Dissertasinya
adalah bentuk ketaatan kepada Tuhan dan keyakinan kepada firman-Nya. Waktu itu
saya sangat terkesan: saya tidak dapat membayangkan bagaimana jika topik
dissertasi-dissertasi teologi lahir dari keyakinan iman akan kehendak dan pesan
Tuhan yang harus disampaikan. Dissertasi teologi seharusnya menjadi pesan
profetik bagi dunia – tidak sekedar pemuasan otak dan memenuhi syarat
kelulusan. Dalam hal inilah saya melihat betapa kehidupan iman Ibu Marx tidak
terpisahkan dari kehidupan akademis dan profesionalnya.
Di tempat ini
jugalah Ibu Marx menyampaikan betapa dalamnya ia jatuh cinta pada teologia
Luther. Meskipun STTB adalah institusi yang mungkin lebih dekat dengan teologia
Calvin (jika saya tidak salah menafsirkan), sesungguhnya Ibu Marx menemukan
banyak hal-hal positif dari Luther yang layak untuk diappresiasi – yang selama
ini tidak diketahui orang, khususnya di Indonesia.
Tahun 2001, saya
menyelesaikan tugas pelayanan di Jerman dan kembali ke Indonesia dengan beban
yang cukup berat. Dalam situasi hati yang lelah, saya bertemu lagi dengan Ibu
Marx. Kali ini kami bertemu di perpustakaan bundar OMF (Overseas Mission
Fellowship) di Cempaka Putih. Inilah pertemuan yang paling berkesan bagi saya.
Saya menceritakan segala peristiwa yang saya alami di Jerman dan semua beban
yang sedang saya rasakan saat ini. Malam itu, setelah sekian jam berbicara dan
mendengarkan, Ibu Marx mengatakan sesuatu yang tidak pernah saya lupakan:
“Jangan takut untuk mencintai lagi!” Ia menitipkan Yeremia 31.3 lalu menumpang
tangan dan mendoakan saya.
Saya masih
berkesempatan menemui Ibu Marx beberapa kali lagi. Kunjungan yang terakhir
adalah ketika beliau sudah tinggal di asrama STTB. Meskipun kondisi fisiknya
melemah, jiwa dan pikiran ibu sangat cerah dan cemerlang. Senyumnya yang khas
juga tidak pernah berubah. Ibu sempat lupa, namun tidak lama kemudian ia ingat pada
saya. Saya berdoa untuk beliau dalam pertemuan itu. Itulah terakhir kali saya
mengunjungi beliau.
Saya sangat
bersyukur boleh mengenal Ibu Marx secara pribadi – meskipun tidak lama. Bagi
saya Ibu Marx adalah khusus dan tidak tergantikan. Saya percaya bagi banyak
orangpun Ibu Marx adalah khusus dan tidak tergantikan. Cintanya bagi Indonesia jauh lebih dalam - dan
air matanya untuk Indonesia yang jujur, bermoral dan beretika tertumpah lebih
banyak dibandingkan kebanyakan orang Indonesia. Beberapa kisahnya, baik itu
yang disampaikan secara lisan maupun melalui korespondensi surat sungguh sangat
berarti. Bagi saya pribadi, Ibu Marx adalah contoh hamba Tuhan yang konsisten:
apa yang dikatakannya dihidupinya.