Tuesday, December 19, 2017

PDT. DR. DOROTHY IRENE MARX (FEBRUARY 16, 1923 - DECEMBER 17, 2017)

Sewaktu di SMA, saya mulai mendengar mengenai seorang hamba Tuhan bernama Dorothy Marx. Ketika saya menjadi mahasiswa, beberapa kali saya mendengarkan beliau berkotbah. Kotbah-kotbah beliau, setidaknya yang saya dengarkan bersama anak-anak muda lainnya memiliki titik berat pada moral dan etika Kristen. Ibu Marx tidak pernah lelah memberi semangat bagi anak-anak muda Indonesia untuk kelak menjadi pemimpin yang bersih, bermoral, beretika dan berkarakter.  Cara penyampaian kotbahnyapun sangat khas. Beliau sering menggunakan singkatan-singkatan yang mudah diingat oleh pendengarnya.

Beberapa bulan sebelum saya menyelesaikan pendidikan teologi di Chicago, Illinois, saya bersurat dengan beliau, menyatakan kerinduan saya untuk melayani sebagai pengajar di Sekolah Tinggi Teologia Bandung (STTB) dimana beliau melayani sebagai rektor. Surat tersebut saya layangkan pada semester pertama di tahun 1997. Ibu Marx membalas surat tersebut dengan sangat rendah hati dan menyatakan bahwa ia sangat antusias dengan apa yang sedang saya gumulkan di dalam melayani Tuhan di Indonesia. Sebenarnya saya hampir yakin bahwa Ibu Marx tidak memiliki memori yang cukup kuat mengenai siapakan saya pada waktu membalas surat tersebut.

Saya tiba di Indonesia bulan Agustus 1997 - mengajar di STT Cipanas dan STT INTI di Bandung. Ibu Marx mengundang saya untuk menemuinya di STT Bandung. Lalu kamipun makan siang bersama di Rumah Makan Saung Kabayan di samping STT Bandung. Percakapan dan makan siang tersebut berlanjut positif: pada awal tahun 1998, saya mendapatkan kesempatan untuk mengajar di STT Bandung. Selama mengajar di STT Bandung, saya mengunjungi Ibu Marx beberapa kali untuk makan siang di rumahnya di Babakan Jeruk. Saya sangat bersyukur untuk setiap kesempatan makan siang bersama beliau. Ibu Marx adalah seorang yang sangat positif dan optimistis. Beliau menaruh harapan besar kepada generasi muda Indonesia untuk membangun bangsa yang jujur.

Selama mengajar di STT Bandung pula, saya belajar bagaimana Ibu Marx membimbing para mahasiswanya. Meskipun beliau menjabat sebagai rektor, namun setiap pagi, ia mengundang mahasiswanya satu persatu untuk berdialog dan berdoa bersamanya. Perhatian yang diberikannya kepada para mahasiswa mahasiswi STT Bandung tentunya meninggalkan kesan yang dalam dan tidak mudah untuk dilupakan.

Pada bulan Agustus 1998, saya meninggalkan Indonesia untuk panggilan pelayanan di Jerman. Ibu Marx berkali-kali bertanya apakah saya yakin dengan rencana tersebut. Beliau memberikan evaluasi yang sangat baik dan berharap saya dapat melayani di STTB lebih lama lagi. Beliau mengatakan bahwa kesempatan untuk berkembang dan maju terbuka sangat luas di Indonesia. Beliau juga menyampaikan bahwa Indonesia membutuhkan banyak sekali pendidik-pendidik teologi. Saya menghargai setiap nasihat yang disampaikan Ibu Marx pada waktu itu, namun saya tetap berangkat ke Jerman.

Sebelum saya berangkat ke Jerman, Ibu Marx menyampaikan bahwa ia sedang di dalam proses menyelesaikan disertasinya di salah satu universitas terbaik di Jerman: Tübingen. Ibu Marx berencana untuk mengunjungi Tübingen selama beberapa bulan dalam rangka menyelesaikan dissertasinya. Pada sekitar tahun 1999 atau 2000, saya berkesempatan untuk mengunjungi beliau di Tubingen. Kami bertemu setengah hari di Tübingen. Ibu Marx mengajak saya berkeliling kampus Fakultas Teologia di Tübingen. Di masa lalu Universitas Tübingen adalah pusat teologia liberal di Jerman. Sebenarnya saya cukup terkejut mendengar bahwa Ibu Marx menempuh pendidikannya di Tübingen. Namun demikian tanpa diminta, beliau menceritakan kepada saya betapa manusia itu sangat berbeda-beda di dalam pandangan teologis – yang terpenting adalah cinta kasih yang murni kepada Tuhan. Bagi ibu Marx, nampaknya iman seseorang tidak melulu ditentukan dengan tempat dimana ia belajar. Bagi ibu Marx, iman seseroang ditentukan oleh kecintaan kepada Tuhan dan firman-Nya.

Setidaknya tiga kali Ibu Marx mengatakan kepada saya bahwa topik dissertasinya yang ditulisnya datang dari Tuhan melalui firman-Nya di Amsal Salomo (14.34). Dissertasinya adalah bentuk ketaatan kepada Tuhan dan keyakinan kepada firman-Nya. Waktu itu saya sangat terkesan: saya tidak dapat membayangkan bagaimana jika topik dissertasi-dissertasi teologi lahir dari keyakinan iman akan kehendak dan pesan Tuhan yang harus disampaikan. Dissertasi teologi seharusnya menjadi pesan profetik bagi dunia – tidak sekedar pemuasan otak dan memenuhi syarat kelulusan. Dalam hal inilah saya melihat betapa kehidupan iman Ibu Marx tidak terpisahkan dari kehidupan akademis dan profesionalnya.

Di tempat ini jugalah Ibu Marx menyampaikan betapa dalamnya ia jatuh cinta pada teologia Luther. Meskipun STTB adalah institusi yang mungkin lebih dekat dengan teologia Calvin (jika saya tidak salah menafsirkan), sesungguhnya Ibu Marx menemukan banyak hal-hal positif dari Luther yang layak untuk diappresiasi – yang selama ini tidak diketahui orang, khususnya di Indonesia.

Tahun 2001, saya menyelesaikan tugas pelayanan di Jerman dan kembali ke Indonesia dengan beban yang cukup berat. Dalam situasi hati yang lelah, saya bertemu lagi dengan Ibu Marx. Kali ini kami bertemu di perpustakaan bundar OMF (Overseas Mission Fellowship) di Cempaka Putih. Inilah pertemuan yang paling berkesan bagi saya. Saya menceritakan segala peristiwa yang saya alami di Jerman dan semua beban yang sedang saya rasakan saat ini. Malam itu, setelah sekian jam berbicara dan mendengarkan, Ibu Marx mengatakan sesuatu yang tidak pernah saya lupakan: “Jangan takut untuk mencintai lagi!” Ia menitipkan Yeremia 31.3 lalu menumpang tangan dan mendoakan saya.

Saya masih berkesempatan menemui Ibu Marx beberapa kali lagi. Kunjungan yang terakhir adalah ketika beliau sudah tinggal di asrama STTB. Meskipun kondisi fisiknya melemah, jiwa dan pikiran ibu sangat cerah dan cemerlang. Senyumnya yang khas juga tidak pernah berubah. Ibu sempat lupa, namun tidak lama kemudian ia ingat pada saya. Saya berdoa untuk beliau dalam pertemuan itu. Itulah terakhir kali saya mengunjungi beliau.

Saya sangat bersyukur boleh mengenal Ibu Marx secara pribadi – meskipun tidak lama. Bagi saya Ibu Marx adalah khusus dan tidak tergantikan. Saya percaya bagi banyak orangpun Ibu Marx adalah khusus dan tidak tergantikan.  Cintanya bagi Indonesia jauh lebih dalam - dan air matanya untuk Indonesia yang jujur, bermoral dan beretika tertumpah lebih banyak dibandingkan kebanyakan orang Indonesia. Beberapa kisahnya, baik itu yang disampaikan secara lisan maupun melalui korespondensi surat sungguh sangat berarti. Bagi saya pribadi, Ibu Marx adalah contoh hamba Tuhan yang konsisten: apa yang dikatakannya dihidupinya.

Tuesday, October 25, 2016

C. PETER WAGNER (AUGUST 15, 1930 - OCTOBER 21, 2016)


I first knew C. Peter Wagner from his books – I was then still in my high school. Between 1991-1994, I was instrumentally active in National Prayer Network. In those years, Peter Wagner’s books are to me must to read. Through the chairman and the founder of National Prayer Network, Dr. Iman Santosoand his library, my knowledge of Peter Wagner grew. In 1993, National Prayer Network facilitated a meeting for church leaders to arrange for Peter Wagner to come to Indonesia to speak on a National Prayer Conference. The meeting was led by the late Reverend Jerimia Rim only a week before his passing. The late Jerimia Rim had been in conversation with Peter Wagner and planned to invite him to Indonesia the following year. He also introduced to and invited participants of that meeting to attend Global Consultation on World Evangelization (GCOWE) in Seoul, Korea(1995) in which Peter Wagner was one of important figures of the movement.

I was appointed to be member of steering committees for 1994 Indonesia Berdoa, a national prayer conference in which Dr. Peter Wagner was the main speaker. Gereja Kristus Yesus, an evangelical Chinese church hosted the conference. More than 3,000 Christian leaders attended that prayer conference. I had the opportunity to talk with him personally during one meal. That conversation focused on united prayer movement and global mission. At the end, we also talked about the plan for 1995 GCOWE and the likelihood for me to study at Fuller School for World Mission.

Few months after that conversation, I went to pursue my theological education not in Fuller, but in Chicago. In those years, I was introduced more to Dr. Wagner’s works – some of them are course required readings. His contributions in theological education, mission and Christian life are without doubt significant. Together with Donald McGavran, he is called the father of church growth movement. His writing covers the wide area of spiritual gifts, spiritual warfare, church planting, church growth, mission, Christian leadership, and the history of Pentecostalism and the Charismatic movement. It is interesting to me to know that those wide ranges of topics are all by Dr. Wagner related to mission and church ministry. Among his works, The Third Wave of the Holy Spirit is my favorite. The book inspires me to looking forward for the fourth, fifth, sixth and seventh waves.

I had some e-mail conversation with him during my stay in Chicago, but never get a chance to meet with him again. I am thankful for his significant contributions that influenced many theologians, missiologistsmissionaries and churchgoers. From his testimonies, I am also grateful to understanding him as a significant academic figure whose encounter with the Holy Spirit is real and alive. In Dr. Wagner’s life, one sees the Gnosisand the Pneuma come together integrally and in harmony.

Thursday, August 18, 2016

EV. DRG. YUSAK TJIPTO (12/03/1935-23/06/2016)




Satu persatu orang-orang yang besar pengaruhnya di dalam masa-masa awal kehidupan iman dan kerohanian saya dipanggil pulang ke rumah Bapa. Pa Yusak, demikian saya biasa membahasakan Penginjil dokter gigi Yusak Tjipto. Saya dan beliau sama sekali tidak memiliki sejarah hubungan yang istimewa. Apakah saya senang mendengar kotbah-kotbah dan pengajaran beliau? Secara jujur, saya senang mendengarkannya. Apakah saya setuju dengan segala hal yang diajarkan oleh beliau? Saya tidak dapat menjawabnya. Setiap kali saya mendengarkan kotbah, saya menetapkan diri untuk belajar tentang sesuatu yang tidak sekedar mengenyangkan otak dan memuaskan pemahaman saya mengenai kebenaran,  namun terlebih penting adalah tentang sesuatu yang berguna bagi kehidupan. Dibalik segala pertentangan tentang pribadi pa Yusak dan segala yang pernah diajarkan serta dikotbahkannya, saya mencatat setidaknya dua  kontribusi beliau yang sangat penting dan mendasar bagi kehidupan iman Kristen dan kehidupan saya sendiri. Apa yang akan saya tuliskan ini, saya yakin tidak hanya sebatas perkataan-perkataan yang indah, namun sesuatu yang hidup di dalam hati pa Yusak.

Pada saat saya masih SMA (tahun 1986 atau 1987), untuk pertama kalinya saya bertemu dengan pa Yusak. Waktu itu beliau sedang berkotbah di salah satu ruangan di Hotel Borobudur, Jakarta. Saya masih sangat belia dan bukan siapa-siapa bahkan bukan tamu yang diundang hadir dalam pertemuan tersebut. Saat itu saya hanya sekedar membantu  panitia angkat ini dan itu. Setelah pa Yusak selesai berkotbah, ia duduk sendiri di dekat pintu ruangan ibadah, Kebetulan tidak ada orang lain yang sedang berbincang dengannya. Saya menghampiri beliau untuk bertanya dan minta nasihat jika seandainya saya ingin menjadi hamba Tuhan. Memang pada saat saya duduk di bangku SMA, mulai ada kerinduan untuk melayani Tuhan, namun saya belum yakin benar. Ini kira-kira kata pa Yusak dengan logatnya yang khas: “Sembahyang – Tanya sama Tuhan.” Well, jawabannya to the point dan menurut saya tepat sasaran. Meskipun tidak salah meminta nasihat orang lain di dalam memahami panggilan Tuhan, pa Yusak mengingatkan bahwa yang terpenting dan yang paling mendasar adalah bertanya kepada Tuhan sendiri. Kita tidak perlu membuat jurang untuk memisahkan hikmat Tuhan dan hikmat manusia, karena tidak jarang nasihat manusia juga berasal dari Tuhan – namun betapa sering kita ‘terburu-buru’ bertanya dan tidak jarang mengandalkan hikmat manusia tanpa pernah bertanya kepada dan minta pimpinan Tuhan yang sesungguhnya memanggil kita? Pada masa-masa itu saya banyak bertanya kepada hamba-hamba Tuhan mengenai panggilan hidup saya dan kerinduan untuk terlibat dalam pelayanan sepenuh waktu. Jawaban pa Yusak terasa berbeda dan khusus. Tidak berarti hamba Tuhan yang lain salah menjawab, namun pa Yusak berbeda: “Sembahyang - Tanya sama Tuhan.” He nailed it. Saya pikir itu yang paling mendasar sebelum bertanya pada orang lain sehebat apapun orang tersebut.

Kali waktu yang lain saya mendengar rekaman sesi tanya jawab antara pa Yusak dan peserta ibadah. Pertanyaannya sesungguhnya sederhana: Bagaimana cara membedakan suara Tuhan dan suara Setan? Jawaban pa Yusak ternyata jauh lebih sederhana lagi: “Aku ndak tahu.” Jemaat tertawa. Pa Yusak melanjutkan, “Soale aku kan bukan Tuhan dan bukan Setan!” Jemaat tertawa terbahak. Jemaat seakan tidak sadar bahwa pa Yusak sesungguhnya serius. Lalu pa Yusak melanjutkan kira-kira begini: “Bagaimana caranya para suami ngenali suara istrinya? Caranya ya kalau keduanya sering ngobrol dan bergaul. Jadi kita bisa tahu itu suara Tuhan, ya kalau kita sering ngobrol dan bergaul sama Tuhan.” Bagi pa Yusak, iman Kristen itu bukanlah sekedar daftar panjang doktrin dan teori semata. Pa Yusak tidak menjawab pertanyaan di atas dengan definisi panjang dan batasan-batasan tentang apa itu suara Tuhan untuk membedakan dari suara Setan. Pengalaman dan kedekatan kita kepada Tuhan adalah pengujinya. Iman Kristen itu bagi pa Yusak adalah sesuatu yang riil yang dilahirkan dari hidup bergaul karib dengan Tuhan.

Saya mengetahui bahwa beberapa pemimpin Kristen dan kelompok-kelompok Kristen menilai pengajaran-pengajaran pa Yusak itu salah dan keliru. Ada juga yang mengatakan bahwa pengajaran dan kotbah pa Yusak itu menipu jemaat. Tulisan ini bukanlah tempat untuk mendebatkan komentar-komentar tersebut. Kalaupun benar bahwa pa Yusak salah, keliru dan menipu di dalam beberapa kotbah dan pengajarannya, maka seharusnya sekarang ini beliau sudah tahu – kan beliau sudah ketemu Tuhan. Dan saya yakin pa Yusak sudah minta maaf pada Tuhan. Jadi untuk teman-teman yang memiliki memori buruk tentang pa Yusak, ini saatnya untuk melupakan dan meninggalkannya. Sebaliknya kontribusi positif pa Yusak tentang kehidupan kristiani seperti yang saya coba sarikan di atas, kiranya dapat terus dilestarikan, digaungkan dan dialami oleh mereka yang mengaku percaya kepada Tuhan Yesus Kristus.

Bon voyage pa Yusak. Saya yakin sekarang ini pa Yusak menikmati hari-hari terindah bersama dan mengalami Tuhan Yesus ‘tanpa batas.’

Tuesday, March 15, 2016

PETRUS AGUNG PURNOMO (20/03/1962-13/03/2016)


 Pada sekitar tahun 1979-1980, ketika saya baru saja mengambil keputusan terpenting di dalam hidup saya untuk percaya kepada Tuhan Yesus, ada seorang pemuda yang ‘literally’ membawa saya bertumbuh di dalam iman Kristen. Seminggu sekali ia menjemput saya dari rumah di Jalan Gedangan dengan Vespanya menuju rumah persekutuan Sangkakala yang pada waktu itu di Jalan Pringgading, Semarang. Setelah persekutuan anak-anak Sangkakala selesai, iapun mengantar saya pulang ke rumah. Sampai hari ini saya masih ingat rutenya, meskipun saya tidak ingat sama sekali jika ada pembicaraan yang penting selama di perjalanan bersamanya.

Pada awal-awal tahun 90-an, beberapa kali ibu saya mengajak saya untuk beribadah di gereja yang didirikannya pada tahun 1991. Lokasi gereja tersebut di kompleks Ruko di Jalan Hasanudin, dekat perumahan Tanah Mas, Semarang. Pada tahun 1993, saya melayani sepenuh waktu di Jaringan Doa Nasional yang memiliki visi untuk menggerakan doa syafaat di dalam kesatuan dan diantara gereja-Nya bagi bangsa dan negara. Salah satu tugas saya adalah bertemu dan membangun jaringan doa dengan hamba-hamba Tuhan di Indonesia. Dalam rangka tugas tersebut, saya menemuinya di rumahnya yang tidak jauh dari lokasi gereja pada waktu itu. Pada saat itu gerejanya sudah lumayan banyak jemaatnya, tetapi juga tidak besar-besar sekali. Yang pasti saya melihat gerejanya bertumbuh. Setelah sekian waktu berbicara mengenai gerakan doa, ia mengajak saya untuk menonton video ibadahKKR kesembuhan yang dilayani oleh Benny Hinn. Pada waktu itu saya menyadari bahwa ia sangat suka dengan Benny Hinn. By the way, ia masih ingat saya.

Pada tahun 2009, diadakanlah reuni 30 tahun kegerakan rohani di Semarang. Reuni diadakan di hotel Patra Jasa, Semarang. Sebelum acara dibuka, saya sapa dia dengan nama aslinya yang mungkin publik tidak tahu. Dan dia masih ingat saya. Kita hanya sempat ngobrol singkat saja – tidak ada yang penting. Empat tahun kemudian, ia hadir dan memimpin ibadah penghiburan ketika ayah saya meninggal dunia (Juli 2013). Di dalam penyampaian firman Tuhan, ia menyinggung pengalamannya bersama kedua orangtua saya.

Beberapa minggu yang lalu saya melihat foto-fotonya ketika berkunjung ke Amerika Serikat pada minggu awal February 2016. Ia nampak sehat. Namun hari Minggu kemarin ia harus pergi (pulang) ke rumah Bapa yang mengasihinya dan dikasihi-Nya. Manusia saya sedih karenanya – namun juga bahagia karenanya.

Sejak berita kepergiannya itu, banyak berita yang simpang siur. Dan itu menambah kesedihan saya. Beberapa komentar yang dimuat di media sosial nampak tidak sensitif sama sekali – terutama dari kelompok-kelompok Kristen yang 'berbeda warna' dengannya. Meskipun halus tapi tanpa disertai rasa empati. Kritik kepada keluarganya, kepada para pemimpin gerejanya, kepada jemaat yang dipimpinnya, dan pada akhirnya kepada pengajarannya. Kebetulan mereka yang 'berbeda warna' itu sebagian teman-teman baik saya juga.

Tapi saya masih bersyukur bahwa di antara banyak komentar-komentar yang beredar, saya terhibur kesan-kesan yang disampaikan oleh Ganjar Pranowo ketika melayat jenasah di gedung gereja, yang dinamai Holy Stadium

Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, mengenang Pendeta Petrus Agung Purnomo sebagai pribadi yang gigih berjuang hingga akhir hayat. Ganjar menyatakan, keluarga Pendeta Petrus Agung sudah menerima kepergian pria yang meninggal akibat serangan jantung tersebut. "Waktu masih muda aktif merintis gereja. Perjuangannya sangat panjang dan perjalanan tanpa kenal lelah, sampai detik terakhir. Istri dan anaknya menerima. Saya melihat duka mendalam. Prosesnya tidak gampang untuk keluarga," kata Ganjar Pranowo di Gereja JKI Injil Kerajaan Holly Stadium, Semarang, Jawa Tengah, Senin 14 Maret 2016. Ganjar mengaku sudah mengenal lama Pendeta Petrus Agung jauh sebelum ia menjadi gubernur. "Saya kenal sudah lama. Bukan saat kampanye, melainkan saat aktif dalam bidang sosial, pendidikan, dan kebencanaan," ujar Ganjar.

Saya tidak ingin membelanya, keluarganya atau membela jemaatnya. Bagi saya apa yang terjadi di antara mereka adalah lumrah. Saya juga tidak ingin menilai orang-orang yang telah menghakiminya dan menghakimi jemaatnya. Karena mereka pun berlaku lumrah. Sayapun rentan untuk menjadi yang dihakimi dan yang menghakimi. Tapi bukan itu yang saya butuhkan hari-hari ini. Saya dan keluarganya, dan teman-teman baiknya dan jemaatnya membutuhkan penghiburan yang sejati.

Saya hanya sedih saja karena orang yang telah ‘literally’ membawa saya kepada pertumbuhan iman saya pada masa-masa iman itu masih kerdil kini telah tiada. Dan ketiadaannya secara nalar manusia adalah way too soon.

Sunday, November 02, 2014

MOORYATI SOEDIBYO, DIAN SASTRO DAN METAKOGNISI SUSI PUDJIASTUTI BY RHENALD KASALI

I am not trying to offer another praise to these extraordinary ladies:

 
 

 - but to share my learning process from the simple truth offered by Rhenald Kasali. Look at one of his outstanding paragraphs "Manusia itu belajar untuk membuat diri dan bangsanya tangguh, bijak mengatasi masalah, mampu mengambil keputusan, bisa membuat kehidupan kebih produktif dan penuh kedamaian. Kalau cuma bisa membuat keonaran dan adu pandai saja kita belum tuntas mengurai persepsi, baru sekedar mampu mendengar, tapi belum bisa menguji kebenaran dengan bijak dan mengembangkannya ke dalam tindakan yang produktif." Here is the link to his complete article: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/11/03/054500426/Mooryati.Soedibyo.Dian.Sastro.dan.Metakognisi.Susi.Pudjiastuti?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp

Wednesday, May 21, 2014

RETHINKING ON WHAT PEOPLE SAY ABOUT POLITICAL PUPPET


Since few months ago, Mr. Joko Widodo, one of the candidates for the next president of Indonesia has been accused to be merely a political ‘puppet’ of former Indonesian president and general chairman of Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Mrs. Megawati Soekarnoputri. This accusation has been launched and popularized by his political oppositions. In political vocabulary, the word ‘puppet’ may not be too positive. That word tells us that such individual does not have independence to make his own decision. Someone else, the more powerful one plays him or her. This short reflective thought invites us to look at some important lessons from the above incident.


  

First, a puppet is dead. It normally represents a living being, animals or humans. Puppets are ‘alive’ only when people play them. Thus, in order for the puppet to perform well and to bring positive impacts in his or her role, there are two basic requirements. One, the people (person) who play behind the puppet has to be a good puppet player. If the player plays the puppet well, the audience who view the puppet show will be happy. Two, a particular puppet will be praised if his or her role is positive and heroic. On the other hand, he or she will be condemned if his or her role is evil and destructive. Though I never ever agree with the thesis that Mr. Joko Widodo is Mrs’ Megawati Soekarnoputri’s puppet, however even if that thesis is true – being Mrs Megawati Soekarnoputri’s puppet is not necessarily a negative reality. If Mrs. Megawati Soekarnoputri is a good puppet player and is able to find positive and constructive roles for Mr. Joko Widodo, then this puppet show will be beautiful and beneficial for the whole country – don’t you think? Being a puppet is not necessarily wrong. It is wrong when a puppet is in the hand of an evil player; it is wrong if that puppet, though in the hand of a gifted player, is given a destructive and evil roles.



Second, at some degree we are actually all puppet of someone else. We often mirror others. Our lifestyle is by no means original; we simply follow our ‘idols’ or predecessors (or ancestors). If we like our leader (father, mother, teacher, pastor, etc.), we start to speak, to act and to think like the way she or he speaks, acts and thinks. Some other have been even easily trapped in a celebrity life-style simply because of the spirit: ‘I want to be like him or her’ or ‘I want to be his or her puppet’ so to speak.



Third, believe it or not, we all like, not only to be a puppet of someone else, but also to have puppets. A political puppet is created often to do things in favor of the real player behind it. And to be honest, we all are happy when people do things in favor of us voluntarily or involuntarily. My point is a simple question: Why does it (if it is true that Mr. Joko Widodo is merely Mrs. Megawati Soekarnoputri’s puppet) bother us? We blame other people based on their actions, but we ourselves love to do those actions. Isn’t that hypocrisy?



Fourth, last and the most important point: Mr. Joko Widodo has not actually been the victim of being Mrs. Megawati Soekarnoputri’s puppet. Mr. Joko Widodo has actually been the victim of being his own fans’ puppet. When his choice of vice president is announced few days ago, some of Mr. Joko Widodo’s faithful fans suddenly were not happy. Some of them expressed their unhappiness frontally in social media. Interestingly enough, these people (previously biggest fans of Mr. Joko Widodo – you can tell from their facebook’s timeline status) started to say that they will not choose Mr. Joko Widodo for the president because of his choice of the vice president. To me – I am so sorry – these people’s dream is to play Mr. Joko Widodo to do things in favor of them. In other words, they want Mr. Joko Widodo to be their political puppet. Or still in other word, these people want to play what they accused Mrs. Megawati Soekarnoputri plays. Are we better off and more experienced than Mrs. Megawati Soekarnoputri in providing leadership for a big country with complex challenges such as Indonesia? Isn’t it also hypocrisy?



The purpose of this reflection is not to support or to justify the idea of political puppet. Nor is it a campaign for Mr. Joko Widodo. The purpose of this article is to assist readers to pause for a while and to do careful reflection on what he or she thinks about political puppet, especially in relation with Mr. Joko Widodo as one candidate for the next Indonesia’s president.