Tuesday, December 19, 2017

PDT. DR. DOROTHY IRENE MARX (FEBRUARY 16, 1923 - DECEMBER 17, 2017)

Sewaktu di SMA, saya mulai mendengar mengenai seorang hamba Tuhan bernama Dorothy Marx. Ketika saya menjadi mahasiswa, beberapa kali saya mendengarkan beliau berkotbah. Kotbah-kotbah beliau, setidaknya yang saya dengarkan bersama anak-anak muda lainnya memiliki titik berat pada moral dan etika Kristen. Ibu Marx tidak pernah lelah memberi semangat bagi anak-anak muda Indonesia untuk kelak menjadi pemimpin yang bersih, bermoral, beretika dan berkarakter.  Cara penyampaian kotbahnyapun sangat khas. Beliau sering menggunakan singkatan-singkatan yang mudah diingat oleh pendengarnya.

Beberapa bulan sebelum saya menyelesaikan pendidikan teologi di Chicago, Illinois, saya bersurat dengan beliau, menyatakan kerinduan saya untuk melayani sebagai pengajar di Sekolah Tinggi Teologia Bandung (STTB) dimana beliau melayani sebagai rektor. Surat tersebut saya layangkan pada semester pertama di tahun 1997. Ibu Marx membalas surat tersebut dengan sangat rendah hati dan menyatakan bahwa ia sangat antusias dengan apa yang sedang saya gumulkan di dalam melayani Tuhan di Indonesia. Sebenarnya saya hampir yakin bahwa Ibu Marx tidak memiliki memori yang cukup kuat mengenai siapakan saya pada waktu membalas surat tersebut.

Saya tiba di Indonesia bulan Agustus 1997 - mengajar di STT Cipanas dan STT INTI di Bandung. Ibu Marx mengundang saya untuk menemuinya di STT Bandung. Lalu kamipun makan siang bersama di Rumah Makan Saung Kabayan di samping STT Bandung. Percakapan dan makan siang tersebut berlanjut positif: pada awal tahun 1998, saya mendapatkan kesempatan untuk mengajar di STT Bandung. Selama mengajar di STT Bandung, saya mengunjungi Ibu Marx beberapa kali untuk makan siang di rumahnya di Babakan Jeruk. Saya sangat bersyukur untuk setiap kesempatan makan siang bersama beliau. Ibu Marx adalah seorang yang sangat positif dan optimistis. Beliau menaruh harapan besar kepada generasi muda Indonesia untuk membangun bangsa yang jujur.

Selama mengajar di STT Bandung pula, saya belajar bagaimana Ibu Marx membimbing para mahasiswanya. Meskipun beliau menjabat sebagai rektor, namun setiap pagi, ia mengundang mahasiswanya satu persatu untuk berdialog dan berdoa bersamanya. Perhatian yang diberikannya kepada para mahasiswa mahasiswi STT Bandung tentunya meninggalkan kesan yang dalam dan tidak mudah untuk dilupakan.

Pada bulan Agustus 1998, saya meninggalkan Indonesia untuk panggilan pelayanan di Jerman. Ibu Marx berkali-kali bertanya apakah saya yakin dengan rencana tersebut. Beliau memberikan evaluasi yang sangat baik dan berharap saya dapat melayani di STTB lebih lama lagi. Beliau mengatakan bahwa kesempatan untuk berkembang dan maju terbuka sangat luas di Indonesia. Beliau juga menyampaikan bahwa Indonesia membutuhkan banyak sekali pendidik-pendidik teologi. Saya menghargai setiap nasihat yang disampaikan Ibu Marx pada waktu itu, namun saya tetap berangkat ke Jerman.

Sebelum saya berangkat ke Jerman, Ibu Marx menyampaikan bahwa ia sedang di dalam proses menyelesaikan disertasinya di salah satu universitas terbaik di Jerman: Tübingen. Ibu Marx berencana untuk mengunjungi Tübingen selama beberapa bulan dalam rangka menyelesaikan dissertasinya. Pada sekitar tahun 1999 atau 2000, saya berkesempatan untuk mengunjungi beliau di Tubingen. Kami bertemu setengah hari di Tübingen. Ibu Marx mengajak saya berkeliling kampus Fakultas Teologia di Tübingen. Di masa lalu Universitas Tübingen adalah pusat teologia liberal di Jerman. Sebenarnya saya cukup terkejut mendengar bahwa Ibu Marx menempuh pendidikannya di Tübingen. Namun demikian tanpa diminta, beliau menceritakan kepada saya betapa manusia itu sangat berbeda-beda di dalam pandangan teologis – yang terpenting adalah cinta kasih yang murni kepada Tuhan. Bagi ibu Marx, nampaknya iman seseorang tidak melulu ditentukan dengan tempat dimana ia belajar. Bagi ibu Marx, iman seseroang ditentukan oleh kecintaan kepada Tuhan dan firman-Nya.

Setidaknya tiga kali Ibu Marx mengatakan kepada saya bahwa topik dissertasinya yang ditulisnya datang dari Tuhan melalui firman-Nya di Amsal Salomo (14.34). Dissertasinya adalah bentuk ketaatan kepada Tuhan dan keyakinan kepada firman-Nya. Waktu itu saya sangat terkesan: saya tidak dapat membayangkan bagaimana jika topik dissertasi-dissertasi teologi lahir dari keyakinan iman akan kehendak dan pesan Tuhan yang harus disampaikan. Dissertasi teologi seharusnya menjadi pesan profetik bagi dunia – tidak sekedar pemuasan otak dan memenuhi syarat kelulusan. Dalam hal inilah saya melihat betapa kehidupan iman Ibu Marx tidak terpisahkan dari kehidupan akademis dan profesionalnya.

Di tempat ini jugalah Ibu Marx menyampaikan betapa dalamnya ia jatuh cinta pada teologia Luther. Meskipun STTB adalah institusi yang mungkin lebih dekat dengan teologia Calvin (jika saya tidak salah menafsirkan), sesungguhnya Ibu Marx menemukan banyak hal-hal positif dari Luther yang layak untuk diappresiasi – yang selama ini tidak diketahui orang, khususnya di Indonesia.

Tahun 2001, saya menyelesaikan tugas pelayanan di Jerman dan kembali ke Indonesia dengan beban yang cukup berat. Dalam situasi hati yang lelah, saya bertemu lagi dengan Ibu Marx. Kali ini kami bertemu di perpustakaan bundar OMF (Overseas Mission Fellowship) di Cempaka Putih. Inilah pertemuan yang paling berkesan bagi saya. Saya menceritakan segala peristiwa yang saya alami di Jerman dan semua beban yang sedang saya rasakan saat ini. Malam itu, setelah sekian jam berbicara dan mendengarkan, Ibu Marx mengatakan sesuatu yang tidak pernah saya lupakan: “Jangan takut untuk mencintai lagi!” Ia menitipkan Yeremia 31.3 lalu menumpang tangan dan mendoakan saya.

Saya masih berkesempatan menemui Ibu Marx beberapa kali lagi. Kunjungan yang terakhir adalah ketika beliau sudah tinggal di asrama STTB. Meskipun kondisi fisiknya melemah, jiwa dan pikiran ibu sangat cerah dan cemerlang. Senyumnya yang khas juga tidak pernah berubah. Ibu sempat lupa, namun tidak lama kemudian ia ingat pada saya. Saya berdoa untuk beliau dalam pertemuan itu. Itulah terakhir kali saya mengunjungi beliau.

Saya sangat bersyukur boleh mengenal Ibu Marx secara pribadi – meskipun tidak lama. Bagi saya Ibu Marx adalah khusus dan tidak tergantikan. Saya percaya bagi banyak orangpun Ibu Marx adalah khusus dan tidak tergantikan.  Cintanya bagi Indonesia jauh lebih dalam - dan air matanya untuk Indonesia yang jujur, bermoral dan beretika tertumpah lebih banyak dibandingkan kebanyakan orang Indonesia. Beberapa kisahnya, baik itu yang disampaikan secara lisan maupun melalui korespondensi surat sungguh sangat berarti. Bagi saya pribadi, Ibu Marx adalah contoh hamba Tuhan yang konsisten: apa yang dikatakannya dihidupinya.