Saturday, May 24, 2025

ZEFANYA: BERHENTILAH MENJADI SOMBONG



Zefanya adalah contoh dari sebuah kitab para nabi yang nubuatnya berbicara bagi orang-orang yang hidup di jamannya - tetapi juga secara eksplisit melukiskan mengenai Hari Tuhan, atau yang dikenal dengan Akhir Jaman. Jika dikerucutkan, musuh utama dari kitab Zefanya adalah keangkuhan atau congkak atau kesombongan atau tinggi hati. Kesombongan itu diuraikan dengan terinci oleh Zefanya melalui apa yang dilakukan oleh Israel dan pula bangsa-bangsa di sekitarnya. Orang sombong tidak akan bertahan menghadapi penghakiman di Akhir Jaman.

Pertama, peringatan tersebut ditujukan kepada orang Israel yang memiliki rasa percaya diri sangat tinggi bahwa sebagai umat pilihan Tuhan, mereka tidak akan dicerai-beraikan. Seakan-akan mereka kebal bahaya dan selalu diperlakukan istimewa karena statusnya sebagai milik Tuhan. Percaya diri memang tidak selalu sama dengan kesombongan - tetapi keduanya tidak berjauhan jaraknya. Seringnya bahkan terkait erat di sana sini seperti benang ruwet. Menariknya, yang akhirnya diselamatkan adalah mereka yang disebut “SISA” (remnant).  Bukan kaum elite - bukan yang merasa benar dan aman karena statusnya, tetapi mereka yang rentan, sadar akan kelemahan-kelemahannya, merendahkan diri serta mengaku dosa dan bertobat. Persis sama dengan Tuhan Yesus yang datang bukan untuk orang yang sehat, tetapi yang sakit - bukan untuk orang yang benar, tetapi yang berdosa. Di dalam Matius 25:31-46, kambing sering MERASA baik padahal jahat. Domba sebaliknya sering MERASA tidak layak, tetapi justru diselamatkan. Jangan hidup seperti kambing yang sombong, sebaliknya tahu dirilah seperti domba. 

Kedua, bangsa-bangsa di sekitar Israel yang dipakai Tuhan untuk menghajar umat kesayangan-Nya juga sombong. Mereka mencela Israel dengan kata-kata yang merendahkan. Berjuang menjadi yang terbaik adalah sehat, (a) sejauh tidak dengan cara menjatuhkan orang lain dengan fitnah dan kata-kata celaan, dan (b) sejauh tidak lupa untuk menyayangi mereka yang tidak seberuntung kita. Toh keberhasilan seseorang bukanlah hasil usahanya sendiri. Bukankah Tuhan turut bekerja dan menolong dengan anugerah-Nya. Jangan lupa bahwa keberhasilan dianugerahkan salah satunya, supaya kita berkesempatan untuk menolong orang lain yang masih harus berjuang di dalam kesulitan. Merendahkan orang lain karenanya adalah melupakan kebaikan Tuhan - sekaligus mengabaikan panggilan-Nya untuk memberkati bagi sesama. 

Ketiga, kesombongan bisa “berbentuk” kerendahan hati. Apa maksudnya? Mereka yang menyembah berhala adalah orang-orang yang sombong. Lho bukankah mereka mengharapkan pertolongan dari berhala-berhala yang disembahnya? Iya sih, sepertinya rendah hati, tetapi mereka adalah orang-orang yang sombong karena memilih untuk mengabaikan dan meninggalkan Tuhan, Sang Pencipta dan Penebus - satu-satunya yang berkuasa untuk mengampuni dan menyelamatkan. Yang bukan saja Raja di atas segala raja, tetapi juga yang telah mati untuk membayar hutang dosa manusia. Bangsa-bangsa di sekitar Israel menyembah berhala. Pada saat yang sama, Israel juga terpeleset jatuh ke dalamnya. Sikap rendah hati karenanya, adalah kembali menempatkan Tuhan sebagai yang utama dan yang terpenting - menjadi satu-satunya yang kita sembah dan andalkan. Di dalam hidup berserah hanya kepada-Nya itulah, berkat tercurah deras - pula rasa aman dan keselamatan tersedia.

Keempat, sombong itu lupa bersyukur ketika berhasil dan menyalahkan Tuhan ketika gagal. Kira-kira selalu merasa benar sendiri. Di dalam bahasa Indonesia, ada istilah “pahlawan kesiangan” - ketika ada yang sakit contohnya, sang “pahlawan kesiangan” berkata: “Kan sudah aku ingatkan untuk tidak lupa mengenakan pakaian yang hangat saat berjalan-jalan di luar!” Dan ketika ada yang berhasil di dalam usaha bisnisnya, sang “pahlawan kesiangan” mengatakan: “Untung kamu melakukan nasihat yang telah kuberikan. Kalau tidak, pasti kamu tidak akan menjadi berhasil seperti sekarang ini!” Jangan meninggikan diri dan mengejar penghargaan manusia! Tidak elok, memalukan dan tidak berkenan kepada Tuhan. Di dalam susah atau senang, sakit atau sehat, gagal atau berhasil, ingatlah bahwa Tuhan setia menyertai dan menolong mereka yang berserah kepada dan merendahkan diri di hadapan-Nya.

Akhir dari kitab Zefanya adalah, SISA umat Israel bisa (dibawa) pulang ke tanah air mereka. Bagi Anda dan saya: mau (dibawa) pulang ke mana? Apa yang kita kejar dan tuju di dalam hidup ini? Kita dipanggil untuk berkarya dan berguna selama hidup di dunia ini - no question, saya setuju! Tetapi dunia ini adalah sementara dan bukan rumah kita yang sesungguhnya. Itu sebabnya Tuhan Yesus mengatakan: “Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi…., tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga….” (Matius 6:19-20). Nasihat ini bukan sekedar untuk tidak mengejar harta, uang dan properti, tetapi juga untuk tidak mengabdikan diri kepada ketenaran, nama besar dan apapun juga, selain Tuhan, Allah semesta alam - supaya at the end kita semua tiba dengan selamat pulang ke rumah yang saat ini sedang disiapkan oleh Tuhan Yesus (Yohanes 14:2). 

Kabar baik renungan Akhir Jaman adalah: Kematian semakin mendekat, demikian pula Hari Tuhan. Jangan takut, karena kita tidak berkuasa untuk menundanya! Jangan hidup sombong! Sebaliknya, hidup taat dan rendah hati - supaya selamat PULANG ke rumah Bapa. 

Saturday, May 10, 2025

HABAKUK DAN KEDEWASAAN IMAN KRISTEN



Kira-kira dua minggu yang lalu, kita menyelesaikan kitab Habakuk. Hanya 3 pasal saja, isinya tentang keluh kesah Israel yang menuntut keadilan Tuhan. Israel yang sesungguhnya sedang dihukum Tuhan karena dosa-dosanya, ternyata merasa lebih suci dan lebih baik dibandingkan Babel, yang dipakai Tuhan untuk mendisiplin Israel. Bukankah kita juga sering memiliki perasaan seperti itu? Sadar kalau salah, tetapi merasa lebih benar dari orang lain yang lebih berhasil atau yang telah mengalahkan dan menyakiti kita? Kita sering bertanya, mengapa yang tidak jujur menjadi kaya, yang nyontek menjadi juara kelas, yang berperilaku buruk hidup berhasil? Jawaban Tuhan kira-kira berbunyi demikian: “Jangan ngurusi orang lain! Bertobat dan perbaikilah dirimu sendiri! Kejahatan orang lain itu urusan-Ku. Bukan urusanmu!”

Salah satu penyataan kunci di dalam kitab Habakuk adalah: “… orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya” (2:4) - dikutip Paulus dua kali (Roma 1:17 dan Galatia 3:11). Teks Masoretik dan Septuaginta bervariasi memberi penekanan mengenai “orang benar” - orang yang dibenarkankah? Atau orang yang berlaku benarkah? Apakah ayat ini berbicara mengenai status seseorang atau perilakunya? Pertanyaan yang lebih dalam adalah: Apakah status iman seseorang dapat dipisahkan dari sikap dan tindakannya? Tentu saja tidak bisa, kecuali kemunafikan dan kepalsuan menjadi pemenangnya. Karenanya, orang yang beriman seharusnya hidup benar, otherwise akan menimbulkan pertanyaan publik dan keragu-raguan. Sebaliknya hidup benar tanpa iman menjadi sia-sia dan tidak mungkin. Tidak ada yang sempurna memang, tetapi iman menuntun kepada hidup yang benar. 
 
Di pasal yang kedua juga, Tuhan mendemonstrasikan keadilan-Nya dengan cara membongkar lima kejahatan Babel: (1) Merampas milik orang. (2) Berlaku tidak jujur. (3) Bersikap tidak adil. (4) Berpura-pura baik, tetapi sesungguhnya jahat. (5) Menyembah berhala - yang adalah jahat di mata Tuhan. Semua kejahatan Babel dilakukan karena keserakahan untuk mendatangkan keuntungan pribadi. Berhala-berhalapun diperalat untuk memuaskan kepentingan mereka. Atas semua kejahatan itu, Babel menerima hukuman yang setimpal. Yang dipakai Tuhan untuk menghukum Israel, akhirnya dihukum juga. Demikianlah keadilan dan keperkasaan Tuhan. Kita bermain layaknya pemeran, Ia memegang kendali seperti sutradara. 
 
Kabar baik yang diberitakan Tuhan melalui nabi Habakuk adalah: Tuhan bekerja dan peduli, meski umat-Nya tidak melihat dan merasakannya. Tuhan bekerja dengan kerangkan waktu-Nya dan tidak pernah menunda untuk menyelesaikannya. Manusia sering ingin yang instan dan cepat, tetapi Tuhan tidak pernah tergesa-gesa. Manusia sendirilah yang justru sering memperlambat waktunya. Bukankah hukuman selesai ketika ada pertobatan? Jika manusianya tidak mau bertobat, tentunya hukuman akan tetap berjalan terus.
 
Last but not least, ketika sesak dan susah, tidak ada gunanya mengeluh. Sebaliknya (1) bersabarlah menantikan waktu pemulihan, (2) berharaplah senantiasa karena masa depan yang cerah itu sungguh ada, (3) bersyukurlah dan bersukacitalah di dalam Tuhan. Ucapan syukur dan sukacita tidak perlu menunggu situasi berubah terlebih dahulu. Ucapan syukur dan hati yang bersukacita adalah sesungguhnya tindakan iman. 2 Korintus 5:7 menjelaskannya dengan amat terang: “Sebab hidup kami ini adalah hidup karena percaya, bukan karena melihat.” Paulus, ketika didera siksa di dalam penjara, bahkan berkali-kali menasihatkan jemaat di Filipi untuk tetap bersukacita. Itulah ciri kedewasaan iman Kristen.

Babel adalah bangsa yang tidak beriman: lihat betapa jahat dan bejat tingkah polahnya. Israel juga tidak suci-suci amat. Ketika dihajar Tuhan, sibuk dengan keluh kesah. Jika diringkaskan, iman Kristen yang matang menurut kitab Habakuk ditandai oleh dua hal ini: (1) setia di dalam kebenaran dan kekudusan hidup, (2) setia di dalam bersukacita dan mengucap syukur - apapun situasinya. 

Terima kasih kepada Isna C. Rambitan yang telah menyunting sebagian dari tulisan ini sehingga menjadi lebih baik dan nyaman untuk dibaca.

Wednesday, April 09, 2025

1 SAMUEL AND THE SOVEREIGNTY OF GOD

01. Kelahiran dan Panggilan Samuel

Kitab 1 Samuel didahului dengan proses kelahiran Samuel dari seorang ibu yang mandul. Hati Hana, ibu Samuel, sering tersakiti karena dipermalukan oleh madunya. Tetapi Hana tekun berdoa sampai Tuhan menjawab. Di antara ribuan anak laki-laki yang lahir dengan mudah di Israel, Samuel dipanggil dan dipilih - ia yang lahir  dari seorang perempuan yang secara jasmaniah sesungguhnya tidak bisa memiliki anak. 


Kelahiran dan pemilihan Samuel menunjukkan bahwa Tuhan menjawab doa, berdaulat dan berkuasa. Banyak yang bisa dipilih, tetapi Tuhan setia mendengarkan doa Hana dan sabar menanti kelahiran Samuel - bahkan sampai ia siap untuk disapih. Barulah setelah itu Tuhan memperdengarkan suara-Nya kepada Samuel. Manusia sering gagal di dalam menjadi sabar, tetapi Tuhan tidak pernah terburu-buru. 

 

Seperti Hana, jangan pernah berputus asa dan merasa rendah diri karena keterbatasan jasmani. Sebaliknya, setialah berdoa. Di dalam Tuhan, yang tidak mungkin menjadi mungkin. Kita tidak bisa menentukan waktunya, karena yang berkuasa atas waktu hanya satu, yaitu Tuhan yang berdaulat.  


02. Saul Menjadi Raja

Kelahiran Samuel adalah bagian dari proses mempersiapkan Israel memasuki era kerajaan. Samuel terpilih sebagai sang kingmaker. Ia mengurapi raja Israel yang pertama dan yang kedua. Saul dan Daud. 


Saul dipilih sebagai raja Israel yang pertama. Meskipun perawakannya meyakinkan, Saul sesungguhnya berasal dari suku yang terkecil dan paling junior di antara suku-suku Israel. Yang minor dipilih untuk memimpin yang mayor. Yang terkecil dilirik Tuhan dan dijadikan-Nya raja atas umat-Nya. Kog bisa? Sekali lagi, Tuhan berdaulat dan berkuasa. 


Oleh karenanya, jangan sekali-kali berputus asa atau merasa rendah diri karena berasal dari kelompok minoritas yang mungkin dianggap tidak penting dan tidak berarti. Setiap anak Tuhan bernilai di hadapan-Nya. Yang menurut manusia tidak mungkin, menjadi mungkin di dalam Tuhan.

 

Dengan pertolongan Tuhan, Saul mengalahkan musuh utama Israel, bangsa Filistin. Namun demikian, di dalam keberhasilanya, Saul akhirnya terpeleset dan melanggar perintah Tuhan. Ia tidak lagi berkenan kepada Tuhan. Kerajaannya tidak akan bertahan selamanya - demikianlah keputusan Tuhan yang tidak bisa digugat.


Tuhan yang memilih Saul, Ia pula yang menolak Saul. Lho kog bisa? Apakah Tuhan plin-plan? Wait! Bukan Tuhan, tetapi Saul-lah yang plin-plan. Ketidaktaatan Saul menjauhkannya dari Tuhan. Pada saat yang sama, ketika kita jauh dari Tuhan, semakin banyak pula pelanggaran dan ketidaktaatan yang kita lakukan. 


Sekali lagi: Tuhan berdaulat dan berkuasa. Saul adalah (was) raja Israel. Tuhan adalah (is) raja segala raja. Tuhan yang mengangkat, tetapi Ia juga yang menjatuhkan; yang menanam, tetapi juga yang mencabut. Jangan pernah sombong akan pangkat, kedudukan dan keberhasilan hidup. Semua itu bersifat sementara. Kalau lupa diri, bisa dengan mudah “disentil” Tuhan, dan semuanya akan ludes dalam sekejap.


03. Daud Mengalahkan Goliat

Menurunnya pamor Saul menjadi titik munculnya “the new kid on the block” – Daud, anak bungsu Isai. Pekerjaannya adalah gembala domba. Hobinya (mungkin) bermain musik, menyanyi dan menulis puisi. Kakak-kakaknya yang laki-laki adalah anggota pasukan tempur garis depan. Pada waktu Saul tertekan jiwanya, Daud datang menghibur dan memainkan kecapinya untuk menenangkan Saul.


Satu hari, ketika semua orang ketakutan menatap Goliat, Daud tampil menjadi pahlawan. Bukan karena ia lebih hebat atau lebih kuat dari semua orang Israel, tetapi karena ia tidak rela nama Tuhan dipermalukan oleh kata-kata Goliat. Daud mengalahkan Goliat, raksasa Filistin itu. Kita melihat betapa Tuhan memberi berkat, keberhasilan dan kemenangan kepada orang yang berpihak kepada dan mengutamakan-Nya. Kisah Daud ini mengingatkan akan perkataan Tuhan Yesus di dalam Injil Matius: "Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (6:33). 

 

Barangkali Goliat termasuk tokoh antagonis yang paling terkenal di antara anak-anak sekolah minggu. Saul dan jenderal-jenderalnya tidak ada yang berani menghadapi Goliat, tapi Daud yang kemerah-merahan dan belum pernah maju berperang berhasil membunuh Goliat dan memancung kepalanya. Kog bisa? Pembaca pasti sudah tahu jawabannya kan? Tuhan berkuasa dan berdaulat. Kemenangan Daud atas Goliat adalah salah satu kisah Alkitab, dimana nyata-nyata Tuhan terlibat dan bertindak. Tanpa Tuhan, Daud sudah mati dilibas Goliat. Anak bungsu yang tidak berpengalaman dan tidak pernah maju perang ini menang mengalahkan musuh yang buesaaaaar buangeeeeeet gitu lho.

 

Jangan pernah berputus asa! Jangan pernah merasa rendah diri karena kurang pengalaman, kurang pendidikan, kurang cakep dan kurang-kurang lainnya. Bukankah di dalam Tuhan, yang tidak mungkin menjadi mungkin? Tuhan tidak pernah tertarik dengan semua kelebihan kita. Jangan ge-er! Ingat pemilihan Daud? Mata Tuhan berbeda dengan mata kita. Nabi sehebat Samuelpun matanya berbeda dari Tuhan. Samuel memilih mulai dari yang tertua, yang terkuat, yang paling senior dan yang paling berpengalaman. Daud tidak masuk hitungannya, tetapi dengarlah firman Tuhan kepada Samuel, “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati." (1 Samuel 16:7). 

 

Satu catatan lagi yang patut diingat dari kisah Daud dan Goliat. Jangan membenci masalah dan tantangan kehidupan. Di dalam percaya dan taat kepada Tuhan, masalah tidak akan menenggelamkan kita, sebaliknya membawa kita untuk tinggal landas, terbang ke tempat yang lebih tinggi. Menurut ilmu mekanika, pesawat bisa naik kalau ada angin yang ditabrak, otherwise pesawat itu akan nyungsep. Tuhan berdaulat dan berkuasa bukan hanya untuk membebaskan kita dari masalah, tetapi juga untuk menyelesaikannya.


04. Kecemburuan Saul kepada Daud

Kisah selanjutnya menceritakan kecemburuan dan iri hati Saul kepada Daud. Beberapa kali Saul hendak membunuh Daud. Daud harus hidup di dalam pelarian dan pengungsian karenanya. Tidak mudah lho. Kalau tidak percaya, tanyakan orang-orang yang hidup mengungsi, dan tanyakan betapa sulitnya kehidupan mereka. Herannya, dengan jumlah ratusan pasukan yang menyertai Saul, Daud tidak pernah tertangkap. Lolos terus. Bahkan Daud beberapa kali mendapat kesempatan di atas angin untuk membunuh Saul. Kog bisa? Tentu karena Tuhan melindungi orang yang dipilih-Nya. Tuhan tidak pernah meninggalkan hamba-hamba yang melayani-Nya. Kita ini seperti biji mata Tuhan yang ajaib dan berdaulat.

 

Usaha Saul untuk menangkap Daud dapat diumpamakan seperti upaya seribu gajah untuk mengalahkan seekor semut - tetapi selalu gagal. Mengapa? Karena semut itu berada dalam genggaman tangan Tuhan, yang jauh lebih kuat dari ribuan gajah. Kekayaan, kepandaian, kerupawanan dan ke-ke lainnya tidaklah penting jika dibandingkan dengan siapa yang menyertai dan melindungi kita. Keputusasaan dan kehilangan harapan tidak ada di dalam kamus hidup orang yang mengandalkan Tuhan. Jangan pernah merasa rendah karena jumlah yang sedikit dan sumber daya yang kecil. Karena Tuhan yang menyertai kita adalah ajaib dan berdaulat. Jangan pernah lupa bahwa lima ribu lebih orang berhasil dikenyangkan hanya oleh dua ekor ikan dan lima ketul roti. 

 

Perhatikan juga keajaiban ini: di antara mereka yang pernah menolong Daud ternyata bukanlah musuh-musuh Saul yang ingin membalas dendam, tetapi justru anak-anaknya sendiri: Yonatan dan Mikhal. Ajaib dan aneh bukan? Sebagai ayah, Saul pasti sedih karena anak-anaknya memilih untuk menolong Daud ketimbang membantunya menghabisi Daud. 

 

Pertolongan Tuhan sering datang dari tempat yang tak terduga. Untuk yang dompetnya tipis misalnya, jangan melulu berharap kepada orang yang beruang. Lama-lama kita bisa lupa akan kesetiaan Tuhan, dan malah mendewakan orang yang banyak uangnya itu. Elisa dijamu oleh perempuan Sunem yang kaya, tetapi Elia  dijamu oleh janda miskin di Sarfat. Jalan Tuhan bukan jalan kita. Cara kerja Tuhan tidak sama dengan cara kerja kita. Untuk menikmati keajaiban tangan Tuhan, kita perlu berani - bukan hanya berani berpikir out of the box, tetapi juga berani hidup out of the box. Itulah iman. 

 

05. Tiada yang Mustahil bagi Tuhan

Karir Saul semakin redup dan ia menelan banyak kekalahan, hingga akhirnya mati bunuh diri. Daud sebaliknya, berjaya di mana pun ia berada. Mengapa Saul kalah melulu? 

 

Pertama, tentu karena Tuhan tidak lagi berkenan kepadanya. No favor from God anymore. Saul berdoa, Tuhan diam saja. Sampai-sampai Saul menemui seorang pemanggil arwah untuk membangunkan Samuel, dengan harapan Samuel yang sudah mati bisa memberikan petunjuk Tuhan. Konyol memang! Kalau Tuhan sudah mengatakan "tidak" - siapa yang dapat melawan? Yang hidup saja tidak bisa, apalagi yang sudah mati. Yang hidup saja tidak mampu mengubah keputusan Tuhan, apalagi patung-patung berhala buatan tangan manusia. Jangan bodoh!

 

Kedua, kenyataan di atas semakin buruk karena Saul membenci orang yang kepadanya Tuhan berkenan. Paraaaaaaaaah kan? Bukankah ketika kita mencintai seseorang, kita juga akan akan mencintai semua yang melekat pada orang tersebut. Kan tidak mungkin mengatakan kepada pacar, "Aku cinta kamu sepenuh hati, kecuali....." Yang model begini pasti putus. 


Saul mencari pertolongan Tuhan, tetapi ia membenci Daud yang telah diurapi-Nya menjadi raja. Hati Saul jauh dari hati Tuhan, hingga Tuhan memilih membisu terhadap doa-doa Saul. Semoga tidak ada di antara pembaca yang hidup seperti Saul, yang bisa dengan mudahnya mengutarakan betapa hebat cintanya kepada Tuhan, tetapi pada saat yang sama betapa malasnya ia membaca firman-Nya. Lain di mulut, lain di hati. 

 

Ketiga, konsentrasi Saul terpecah. Tugasnya adalah memimpin Israel menghadapi Filistin. Tetapi hati dan pikirannya dipenuhi dengan kebencian yang pol terhadap Daud. Manusia yang hidupnya sering gagal adalah yang hati dan pikirannya tidak sinkron dengan tindakannya. Kata orang: tidak fokus. Mau jadi dokter tapi kuliah hukum - kan tidak klop. Mau makan durian, tapi beli pisang - kan ngga jodoh. Mau masak sup buntut, tapi belanja bumbu pecel - dua-duanya enak sih, tapi hidup yang seperti ini tidak pernah berhasil mencapai tujuannya dan tidak fulfilling. Fokus dan kerahkanlah segenap waktu dan tenaga pada panggilan dan rencana Tuhan di dalam hidup kita. Pasti berhasil!

 

Saul mengingatkan kita supaya jangan jadi Kristen KTP atau Kristen pencitraan. Tuhan yang memerintah dan bertahta di dalam hati kita seharusnya menjadi identitas iman kita yang sesungguhnya, sehingga orang-orang yang menyaksikannya datang mendekat kepada Tuhan dan memuliakan Nama-Nya. 

 

Tuhan yang berdaulat, yang berkuasa dan yang ajaib menjadi semacam “driving force” dibalik kitab 1 Samuel. Pula semacam benang merah yang menyatukan tema dan pesan dari kitab ini. Kita bukan siapa-siapa. Hana adalah perempuan mandul. Saul dari suku yang terkecil dan minoritas. Daud adalah bungsu yang tidak berpengalaman dan belum pernah berperang. Tetapi Tuhan memilih Hana, Saul dan Daud untuk maksud dan rencana-Nya yang dahsyat. 

 

Kebenaran di atas menerbitkan harapan yang membangkitkan semangat. So,….kalau pembaca berada di dalam kesulitan dan keterjepitan, ingatlah bahwa bagi Tuhan tidak ada yang mustahil. Jangan pernah berhenti berharap kepada-Nya. Harapan yang pasti adalah salah satu bagian penting dari iman Kristen. Ibrani 11:1 mengatakan: "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan....." 


Jangan kecil hati akan masa lalu yang buruk pula pada masa kini yang tidak terlalu menjanjikan. Hidup ini bukan tentang kita, tetapi tentang Tuhan dan kemuliaan-Nya. Bukan gagah dan kehebatan kita, tetapi kesetiaan dan kasih karunia-Nya. "Non nobis, Domine, non nobis, sed nomini tuo da gloriam” (Mazmur 115:1).

 

Bukalah hati lebar-lebar untuk mengalami dan dipimpin oleh kedaulatan Tuhan, bukan sebaliknya oleh kedaulatan diri sendiri dengan hidup yang semau-maunya. Kedaulatan manusia menghasilkan kesia-siaan, kedaulatan Tuhan menuai keajaiban.


* Terima kasih kepada Isna C. Rambitan yang telah menyunting tulisan ini jauh-jauh dari Edinburgh - sehingga menjadi lebih readable bagi segenap pembaca. 

Tuesday, December 19, 2017

PDT. DR. DOROTHY IRENE MARX (FEBRUARY 16, 1923 - DECEMBER 17, 2017)

Sewaktu di SMA, saya mulai mendengar mengenai seorang hamba Tuhan bernama Dorothy Marx. Ketika saya menjadi mahasiswa, beberapa kali saya mendengarkan beliau berkotbah. Kotbah-kotbah beliau, setidaknya yang saya dengarkan bersama anak-anak muda lainnya memiliki titik berat pada moral dan etika Kristen. Ibu Marx tidak pernah lelah memberi semangat bagi anak-anak muda Indonesia untuk kelak menjadi pemimpin yang bersih, bermoral, beretika dan berkarakter.  Cara penyampaian kotbahnyapun sangat khas. Beliau sering menggunakan singkatan-singkatan yang mudah diingat oleh pendengarnya.

Beberapa bulan sebelum saya menyelesaikan pendidikan teologi di Chicago, Illinois, saya bersurat dengan beliau, menyatakan kerinduan saya untuk melayani sebagai pengajar di Sekolah Tinggi Teologia Bandung (STTB) dimana beliau melayani sebagai rektor. Surat tersebut saya layangkan pada semester pertama di tahun 1997. Ibu Marx membalas surat tersebut dengan sangat rendah hati dan menyatakan bahwa ia sangat antusias dengan apa yang sedang saya gumulkan di dalam melayani Tuhan di Indonesia. Sebenarnya saya hampir yakin bahwa Ibu Marx tidak memiliki memori yang cukup kuat mengenai siapakan saya pada waktu membalas surat tersebut.

Saya tiba di Indonesia bulan Agustus 1997 - mengajar di STT Cipanas dan STT INTI di Bandung. Ibu Marx mengundang saya untuk menemuinya di STT Bandung. Lalu kamipun makan siang bersama di Rumah Makan Saung Kabayan di samping STT Bandung. Percakapan dan makan siang tersebut berlanjut positif: pada awal tahun 1998, saya mendapatkan kesempatan untuk mengajar di STT Bandung. Selama mengajar di STT Bandung, saya mengunjungi Ibu Marx beberapa kali untuk makan siang di rumahnya di Babakan Jeruk. Saya sangat bersyukur untuk setiap kesempatan makan siang bersama beliau. Ibu Marx adalah seorang yang sangat positif dan optimistis. Beliau menaruh harapan besar kepada generasi muda Indonesia untuk membangun bangsa yang jujur.

Selama mengajar di STT Bandung pula, saya belajar bagaimana Ibu Marx membimbing para mahasiswanya. Meskipun beliau menjabat sebagai rektor, namun setiap pagi, ia mengundang mahasiswanya satu persatu untuk berdialog dan berdoa bersamanya. Perhatian yang diberikannya kepada para mahasiswa mahasiswi STT Bandung tentunya meninggalkan kesan yang dalam dan tidak mudah untuk dilupakan.

Pada bulan Agustus 1998, saya meninggalkan Indonesia untuk panggilan pelayanan di Jerman. Ibu Marx berkali-kali bertanya apakah saya yakin dengan rencana tersebut. Beliau memberikan evaluasi yang sangat baik dan berharap saya dapat melayani di STTB lebih lama lagi. Beliau mengatakan bahwa kesempatan untuk berkembang dan maju terbuka sangat luas di Indonesia. Beliau juga menyampaikan bahwa Indonesia membutuhkan banyak sekali pendidik-pendidik teologi. Saya menghargai setiap nasihat yang disampaikan Ibu Marx pada waktu itu, namun saya tetap berangkat ke Jerman.

Sebelum saya berangkat ke Jerman, Ibu Marx menyampaikan bahwa ia sedang di dalam proses menyelesaikan disertasinya di salah satu universitas terbaik di Jerman: Tübingen. Ibu Marx berencana untuk mengunjungi Tübingen selama beberapa bulan dalam rangka menyelesaikan dissertasinya. Pada sekitar tahun 1999 atau 2000, saya berkesempatan untuk mengunjungi beliau di Tubingen. Kami bertemu setengah hari di Tübingen. Ibu Marx mengajak saya berkeliling kampus Fakultas Teologia di Tübingen. Di masa lalu Universitas Tübingen adalah pusat teologia liberal di Jerman. Sebenarnya saya cukup terkejut mendengar bahwa Ibu Marx menempuh pendidikannya di Tübingen. Namun demikian tanpa diminta, beliau menceritakan kepada saya betapa manusia itu sangat berbeda-beda di dalam pandangan teologis – yang terpenting adalah cinta kasih yang murni kepada Tuhan. Bagi ibu Marx, nampaknya iman seseorang tidak melulu ditentukan dengan tempat dimana ia belajar. Bagi ibu Marx, iman seseroang ditentukan oleh kecintaan kepada Tuhan dan firman-Nya.

Setidaknya tiga kali Ibu Marx mengatakan kepada saya bahwa topik dissertasinya yang ditulisnya datang dari Tuhan melalui firman-Nya di Amsal Salomo (14.34). Dissertasinya adalah bentuk ketaatan kepada Tuhan dan keyakinan kepada firman-Nya. Waktu itu saya sangat terkesan: saya tidak dapat membayangkan bagaimana jika topik dissertasi-dissertasi teologi lahir dari keyakinan iman akan kehendak dan pesan Tuhan yang harus disampaikan. Dissertasi teologi seharusnya menjadi pesan profetik bagi dunia – tidak sekedar pemuasan otak dan memenuhi syarat kelulusan. Dalam hal inilah saya melihat betapa kehidupan iman Ibu Marx tidak terpisahkan dari kehidupan akademis dan profesionalnya.

Di tempat ini jugalah Ibu Marx menyampaikan betapa dalamnya ia jatuh cinta pada teologia Luther. Meskipun STTB adalah institusi yang mungkin lebih dekat dengan teologia Calvin (jika saya tidak salah menafsirkan), sesungguhnya Ibu Marx menemukan banyak hal-hal positif dari Luther yang layak untuk diappresiasi – yang selama ini tidak diketahui orang, khususnya di Indonesia.

Tahun 2001, saya menyelesaikan tugas pelayanan di Jerman dan kembali ke Indonesia dengan beban yang cukup berat. Dalam situasi hati yang lelah, saya bertemu lagi dengan Ibu Marx. Kali ini kami bertemu di perpustakaan bundar OMF (Overseas Mission Fellowship) di Cempaka Putih. Inilah pertemuan yang paling berkesan bagi saya. Saya menceritakan segala peristiwa yang saya alami di Jerman dan semua beban yang sedang saya rasakan saat ini. Malam itu, setelah sekian jam berbicara dan mendengarkan, Ibu Marx mengatakan sesuatu yang tidak pernah saya lupakan: “Jangan takut untuk mencintai lagi!” Ia menitipkan Yeremia 31.3 lalu menumpang tangan dan mendoakan saya.

Saya masih berkesempatan menemui Ibu Marx beberapa kali lagi. Kunjungan yang terakhir adalah ketika beliau sudah tinggal di asrama STTB. Meskipun kondisi fisiknya melemah, jiwa dan pikiran ibu sangat cerah dan cemerlang. Senyumnya yang khas juga tidak pernah berubah. Ibu sempat lupa, namun tidak lama kemudian ia ingat pada saya. Saya berdoa untuk beliau dalam pertemuan itu. Itulah terakhir kali saya mengunjungi beliau.

Saya sangat bersyukur boleh mengenal Ibu Marx secara pribadi – meskipun tidak lama. Bagi saya Ibu Marx adalah khusus dan tidak tergantikan. Saya percaya bagi banyak orangpun Ibu Marx adalah khusus dan tidak tergantikan.  Cintanya bagi Indonesia jauh lebih dalam - dan air matanya untuk Indonesia yang jujur, bermoral dan beretika tertumpah lebih banyak dibandingkan kebanyakan orang Indonesia. Beberapa kisahnya, baik itu yang disampaikan secara lisan maupun melalui korespondensi surat sungguh sangat berarti. Bagi saya pribadi, Ibu Marx adalah contoh hamba Tuhan yang konsisten: apa yang dikatakannya dihidupinya.

Tuesday, October 25, 2016

C. PETER WAGNER (AUGUST 15, 1930 - OCTOBER 21, 2016)


I first knew C. Peter Wagner from his books – I was then still in my high school. Between 1991-1994, I was instrumentally active in National Prayer Network. In those years, Peter Wagner’s books are to me must to read. Through the chairman and the founder of National Prayer Network, Dr. Iman Santosoand his library, my knowledge of Peter Wagner grew. In 1993, National Prayer Network facilitated a meeting for church leaders to arrange for Peter Wagner to come to Indonesia to speak on a National Prayer Conference. The meeting was led by the late Reverend Jerimia Rim only a week before his passing. The late Jerimia Rim had been in conversation with Peter Wagner and planned to invite him to Indonesia the following year. He also introduced to and invited participants of that meeting to attend Global Consultation on World Evangelization (GCOWE) in Seoul, Korea(1995) in which Peter Wagner was one of important figures of the movement.

I was appointed to be member of steering committees for 1994 Indonesia Berdoa, a national prayer conference in which Dr. Peter Wagner was the main speaker. Gereja Kristus Yesus, an evangelical Chinese church hosted the conference. More than 3,000 Christian leaders attended that prayer conference. I had the opportunity to talk with him personally during one meal. That conversation focused on united prayer movement and global mission. At the end, we also talked about the plan for 1995 GCOWE and the likelihood for me to study at Fuller School for World Mission.

Few months after that conversation, I went to pursue my theological education not in Fuller, but in Chicago. In those years, I was introduced more to Dr. Wagner’s works – some of them are course required readings. His contributions in theological education, mission and Christian life are without doubt significant. Together with Donald McGavran, he is called the father of church growth movement. His writing covers the wide area of spiritual gifts, spiritual warfare, church planting, church growth, mission, Christian leadership, and the history of Pentecostalism and the Charismatic movement. It is interesting to me to know that those wide ranges of topics are all by Dr. Wagner related to mission and church ministry. Among his works, The Third Wave of the Holy Spirit is my favorite. The book inspires me to looking forward for the fourth, fifth, sixth and seventh waves.

I had some e-mail conversation with him during my stay in Chicago, but never get a chance to meet with him again. I am thankful for his significant contributions that influenced many theologians, missiologistsmissionaries and churchgoers. From his testimonies, I am also grateful to understanding him as a significant academic figure whose encounter with the Holy Spirit is real and alive. In Dr. Wagner’s life, one sees the Gnosisand the Pneuma come together integrally and in harmony.

Thursday, August 18, 2016

EV. DRG. YUSAK TJIPTO (12/03/1935-23/06/2016)




Satu persatu orang-orang yang besar pengaruhnya di dalam masa-masa awal kehidupan iman dan kerohanian saya dipanggil pulang ke rumah Bapa. Pa Yusak, demikian saya biasa membahasakan Penginjil dokter gigi Yusak Tjipto. Saya dan beliau sama sekali tidak memiliki sejarah hubungan yang istimewa. Apakah saya senang mendengar kotbah-kotbah dan pengajaran beliau? Secara jujur, saya senang mendengarkannya. Apakah saya setuju dengan segala hal yang diajarkan oleh beliau? Saya tidak dapat menjawabnya. Setiap kali saya mendengarkan kotbah, saya menetapkan diri untuk belajar tentang sesuatu yang tidak sekedar mengenyangkan otak dan memuaskan pemahaman saya mengenai kebenaran,  namun terlebih penting adalah tentang sesuatu yang berguna bagi kehidupan. Dibalik segala pertentangan tentang pribadi pa Yusak dan segala yang pernah diajarkan serta dikotbahkannya, saya mencatat setidaknya dua  kontribusi beliau yang sangat penting dan mendasar bagi kehidupan iman Kristen dan kehidupan saya sendiri. Apa yang akan saya tuliskan ini, saya yakin tidak hanya sebatas perkataan-perkataan yang indah, namun sesuatu yang hidup di dalam hati pa Yusak.

Pada saat saya masih SMA (tahun 1986 atau 1987), untuk pertama kalinya saya bertemu dengan pa Yusak. Waktu itu beliau sedang berkotbah di salah satu ruangan di Hotel Borobudur, Jakarta. Saya masih sangat belia dan bukan siapa-siapa bahkan bukan tamu yang diundang hadir dalam pertemuan tersebut. Saat itu saya hanya sekedar membantu  panitia angkat ini dan itu. Setelah pa Yusak selesai berkotbah, ia duduk sendiri di dekat pintu ruangan ibadah, Kebetulan tidak ada orang lain yang sedang berbincang dengannya. Saya menghampiri beliau untuk bertanya dan minta nasihat jika seandainya saya ingin menjadi hamba Tuhan. Memang pada saat saya duduk di bangku SMA, mulai ada kerinduan untuk melayani Tuhan, namun saya belum yakin benar. Ini kira-kira kata pa Yusak dengan logatnya yang khas: “Sembahyang – Tanya sama Tuhan.” Well, jawabannya to the point dan menurut saya tepat sasaran. Meskipun tidak salah meminta nasihat orang lain di dalam memahami panggilan Tuhan, pa Yusak mengingatkan bahwa yang terpenting dan yang paling mendasar adalah bertanya kepada Tuhan sendiri. Kita tidak perlu membuat jurang untuk memisahkan hikmat Tuhan dan hikmat manusia, karena tidak jarang nasihat manusia juga berasal dari Tuhan – namun betapa sering kita ‘terburu-buru’ bertanya dan tidak jarang mengandalkan hikmat manusia tanpa pernah bertanya kepada dan minta pimpinan Tuhan yang sesungguhnya memanggil kita? Pada masa-masa itu saya banyak bertanya kepada hamba-hamba Tuhan mengenai panggilan hidup saya dan kerinduan untuk terlibat dalam pelayanan sepenuh waktu. Jawaban pa Yusak terasa berbeda dan khusus. Tidak berarti hamba Tuhan yang lain salah menjawab, namun pa Yusak berbeda: “Sembahyang - Tanya sama Tuhan.” He nailed it. Saya pikir itu yang paling mendasar sebelum bertanya pada orang lain sehebat apapun orang tersebut.

Kali waktu yang lain saya mendengar rekaman sesi tanya jawab antara pa Yusak dan peserta ibadah. Pertanyaannya sesungguhnya sederhana: Bagaimana cara membedakan suara Tuhan dan suara Setan? Jawaban pa Yusak ternyata jauh lebih sederhana lagi: “Aku ndak tahu.” Jemaat tertawa. Pa Yusak melanjutkan, “Soale aku kan bukan Tuhan dan bukan Setan!” Jemaat tertawa terbahak. Jemaat seakan tidak sadar bahwa pa Yusak sesungguhnya serius. Lalu pa Yusak melanjutkan kira-kira begini: “Bagaimana caranya para suami ngenali suara istrinya? Caranya ya kalau keduanya sering ngobrol dan bergaul. Jadi kita bisa tahu itu suara Tuhan, ya kalau kita sering ngobrol dan bergaul sama Tuhan.” Bagi pa Yusak, iman Kristen itu bukanlah sekedar daftar panjang doktrin dan teori semata. Pa Yusak tidak menjawab pertanyaan di atas dengan definisi panjang dan batasan-batasan tentang apa itu suara Tuhan untuk membedakan dari suara Setan. Pengalaman dan kedekatan kita kepada Tuhan adalah pengujinya. Iman Kristen itu bagi pa Yusak adalah sesuatu yang riil yang dilahirkan dari hidup bergaul karib dengan Tuhan.

Saya mengetahui bahwa beberapa pemimpin Kristen dan kelompok-kelompok Kristen menilai pengajaran-pengajaran pa Yusak itu salah dan keliru. Ada juga yang mengatakan bahwa pengajaran dan kotbah pa Yusak itu menipu jemaat. Tulisan ini bukanlah tempat untuk mendebatkan komentar-komentar tersebut. Kalaupun benar bahwa pa Yusak salah, keliru dan menipu di dalam beberapa kotbah dan pengajarannya, maka seharusnya sekarang ini beliau sudah tahu – kan beliau sudah ketemu Tuhan. Dan saya yakin pa Yusak sudah minta maaf pada Tuhan. Jadi untuk teman-teman yang memiliki memori buruk tentang pa Yusak, ini saatnya untuk melupakan dan meninggalkannya. Sebaliknya kontribusi positif pa Yusak tentang kehidupan kristiani seperti yang saya coba sarikan di atas, kiranya dapat terus dilestarikan, digaungkan dan dialami oleh mereka yang mengaku percaya kepada Tuhan Yesus Kristus.

Bon voyage pa Yusak. Saya yakin sekarang ini pa Yusak menikmati hari-hari terindah bersama dan mengalami Tuhan Yesus ‘tanpa batas.’