Saturday, May 24, 2025

ZEFANYA: BERHENTILAH MENJADI SOMBONG



Zefanya adalah contoh dari sebuah kitab para nabi yang nubuatnya berbicara bagi orang-orang yang hidup di jamannya - tetapi juga secara eksplisit melukiskan mengenai Hari Tuhan, atau yang dikenal dengan Akhir Jaman. Jika dikerucutkan, musuh utama dari kitab Zefanya adalah keangkuhan atau congkak atau kesombongan atau tinggi hati. Kesombongan itu diuraikan dengan terinci oleh Zefanya melalui apa yang dilakukan oleh Israel dan pula bangsa-bangsa di sekitarnya. Orang sombong tidak akan bertahan menghadapi penghakiman di Akhir Jaman.

Pertama, peringatan tersebut ditujukan kepada orang Israel yang memiliki rasa percaya diri sangat tinggi bahwa sebagai umat pilihan Tuhan, mereka tidak akan dicerai-beraikan. Seakan-akan mereka kebal bahaya dan selalu diperlakukan istimewa karena statusnya sebagai milik Tuhan. Percaya diri memang tidak selalu sama dengan kesombongan - tetapi keduanya tidak berjauhan jaraknya. Seringnya bahkan terkait erat di sana sini seperti benang ruwet. Menariknya, yang akhirnya diselamatkan adalah mereka yang disebut “SISA” (remnant).  Bukan kaum elite - bukan yang merasa benar dan aman karena statusnya, tetapi mereka yang rentan, sadar akan kelemahan-kelemahannya, merendahkan diri serta mengaku dosa dan bertobat. Persis sama dengan Tuhan Yesus yang datang bukan untuk orang yang sehat, tetapi yang sakit - bukan untuk orang yang benar, tetapi yang berdosa. Di dalam Matius 25:31-46, kambing sering MERASA baik padahal jahat. Domba sebaliknya sering MERASA tidak layak, tetapi justru diselamatkan. Jangan hidup seperti kambing yang sombong, sebaliknya tahu dirilah seperti domba. 

Kedua, bangsa-bangsa di sekitar Israel yang dipakai Tuhan untuk menghajar umat kesayangan-Nya juga sombong. Mereka mencela Israel dengan kata-kata yang merendahkan. Berjuang menjadi yang terbaik adalah sehat, (a) sejauh tidak dengan cara menjatuhkan orang lain dengan fitnah dan kata-kata celaan, dan (b) sejauh tidak lupa untuk menyayangi mereka yang tidak seberuntung kita. Toh keberhasilan seseorang bukanlah hasil usahanya sendiri. Bukankah Tuhan turut bekerja dan menolong dengan anugerah-Nya. Jangan lupa bahwa keberhasilan dianugerahkan salah satunya, supaya kita berkesempatan untuk menolong orang lain yang masih harus berjuang di dalam kesulitan. Merendahkan orang lain karenanya adalah melupakan kebaikan Tuhan - sekaligus mengabaikan panggilan-Nya untuk memberkati bagi sesama. 

Ketiga, kesombongan bisa “berbentuk” kerendahan hati. Apa maksudnya? Mereka yang menyembah berhala adalah orang-orang yang sombong. Lho bukankah mereka mengharapkan pertolongan dari berhala-berhala yang disembahnya? Iya sih, sepertinya rendah hati, tetapi mereka adalah orang-orang yang sombong karena memilih untuk mengabaikan dan meninggalkan Tuhan, Sang Pencipta dan Penebus - satu-satunya yang berkuasa untuk mengampuni dan menyelamatkan. Yang bukan saja Raja di atas segala raja, tetapi juga yang telah mati untuk membayar hutang dosa manusia. Bangsa-bangsa di sekitar Israel menyembah berhala. Pada saat yang sama, Israel juga terpeleset jatuh ke dalamnya. Sikap rendah hati karenanya, adalah kembali menempatkan Tuhan sebagai yang utama dan yang terpenting - menjadi satu-satunya yang kita sembah dan andalkan. Di dalam hidup berserah hanya kepada-Nya itulah, berkat tercurah deras - pula rasa aman dan keselamatan tersedia.

Keempat, sombong itu lupa bersyukur ketika berhasil dan menyalahkan Tuhan ketika gagal. Kira-kira selalu merasa benar sendiri. Di dalam bahasa Indonesia, ada istilah “pahlawan kesiangan” - ketika ada yang sakit contohnya, sang “pahlawan kesiangan” berkata: “Kan sudah aku ingatkan untuk tidak lupa mengenakan pakaian yang hangat saat berjalan-jalan di luar!” Dan ketika ada yang berhasil di dalam usaha bisnisnya, sang “pahlawan kesiangan” mengatakan: “Untung kamu melakukan nasihat yang telah kuberikan. Kalau tidak, pasti kamu tidak akan menjadi berhasil seperti sekarang ini!” Jangan meninggikan diri dan mengejar penghargaan manusia! Tidak elok, memalukan dan tidak berkenan kepada Tuhan. Di dalam susah atau senang, sakit atau sehat, gagal atau berhasil, ingatlah bahwa Tuhan setia menyertai dan menolong mereka yang berserah kepada dan merendahkan diri di hadapan-Nya.

Akhir dari kitab Zefanya adalah, SISA umat Israel bisa (dibawa) pulang ke tanah air mereka. Bagi Anda dan saya: mau (dibawa) pulang ke mana? Apa yang kita kejar dan tuju di dalam hidup ini? Kita dipanggil untuk berkarya dan berguna selama hidup di dunia ini - no question, saya setuju! Tetapi dunia ini adalah sementara dan bukan rumah kita yang sesungguhnya. Itu sebabnya Tuhan Yesus mengatakan: “Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi…., tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga….” (Matius 6:19-20). Nasihat ini bukan sekedar untuk tidak mengejar harta, uang dan properti, tetapi juga untuk tidak mengabdikan diri kepada ketenaran, nama besar dan apapun juga, selain Tuhan, Allah semesta alam - supaya at the end kita semua tiba dengan selamat pulang ke rumah yang saat ini sedang disiapkan oleh Tuhan Yesus (Yohanes 14:2). 

Kabar baik renungan Akhir Jaman adalah: Kematian semakin mendekat, demikian pula Hari Tuhan. Jangan takut, karena kita tidak berkuasa untuk menundanya! Jangan hidup sombong! Sebaliknya, hidup taat dan rendah hati - supaya selamat PULANG ke rumah Bapa. 

Saturday, May 10, 2025

HABAKUK DAN KEDEWASAAN IMAN KRISTEN



Kira-kira dua minggu yang lalu, kita menyelesaikan kitab Habakuk. Hanya 3 pasal saja, isinya tentang keluh kesah Israel yang menuntut keadilan Tuhan. Israel yang sesungguhnya sedang dihukum Tuhan karena dosa-dosanya, ternyata merasa lebih suci dan lebih baik dibandingkan Babel, yang dipakai Tuhan untuk mendisiplin Israel. Bukankah kita juga sering memiliki perasaan seperti itu? Sadar kalau salah, tetapi merasa lebih benar dari orang lain yang lebih berhasil atau yang telah mengalahkan dan menyakiti kita? Kita sering bertanya, mengapa yang tidak jujur menjadi kaya, yang nyontek menjadi juara kelas, yang berperilaku buruk hidup berhasil? Jawaban Tuhan kira-kira berbunyi demikian: “Jangan ngurusi orang lain! Bertobat dan perbaikilah dirimu sendiri! Kejahatan orang lain itu urusan-Ku. Bukan urusanmu!”

Salah satu penyataan kunci di dalam kitab Habakuk adalah: “… orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya” (2:4) - dikutip Paulus dua kali (Roma 1:17 dan Galatia 3:11). Teks Masoretik dan Septuaginta bervariasi memberi penekanan mengenai “orang benar” - orang yang dibenarkankah? Atau orang yang berlaku benarkah? Apakah ayat ini berbicara mengenai status seseorang atau perilakunya? Pertanyaan yang lebih dalam adalah: Apakah status iman seseorang dapat dipisahkan dari sikap dan tindakannya? Tentu saja tidak bisa, kecuali kemunafikan dan kepalsuan menjadi pemenangnya. Karenanya, orang yang beriman seharusnya hidup benar, otherwise akan menimbulkan pertanyaan publik dan keragu-raguan. Sebaliknya hidup benar tanpa iman menjadi sia-sia dan tidak mungkin. Tidak ada yang sempurna memang, tetapi iman menuntun kepada hidup yang benar. 
 
Di pasal yang kedua juga, Tuhan mendemonstrasikan keadilan-Nya dengan cara membongkar lima kejahatan Babel: (1) Merampas milik orang. (2) Berlaku tidak jujur. (3) Bersikap tidak adil. (4) Berpura-pura baik, tetapi sesungguhnya jahat. (5) Menyembah berhala - yang adalah jahat di mata Tuhan. Semua kejahatan Babel dilakukan karena keserakahan untuk mendatangkan keuntungan pribadi. Berhala-berhalapun diperalat untuk memuaskan kepentingan mereka. Atas semua kejahatan itu, Babel menerima hukuman yang setimpal. Yang dipakai Tuhan untuk menghukum Israel, akhirnya dihukum juga. Demikianlah keadilan dan keperkasaan Tuhan. Kita bermain layaknya pemeran, Ia memegang kendali seperti sutradara. 
 
Kabar baik yang diberitakan Tuhan melalui nabi Habakuk adalah: Tuhan bekerja dan peduli, meski umat-Nya tidak melihat dan merasakannya. Tuhan bekerja dengan kerangkan waktu-Nya dan tidak pernah menunda untuk menyelesaikannya. Manusia sering ingin yang instan dan cepat, tetapi Tuhan tidak pernah tergesa-gesa. Manusia sendirilah yang justru sering memperlambat waktunya. Bukankah hukuman selesai ketika ada pertobatan? Jika manusianya tidak mau bertobat, tentunya hukuman akan tetap berjalan terus.
 
Last but not least, ketika sesak dan susah, tidak ada gunanya mengeluh. Sebaliknya (1) bersabarlah menantikan waktu pemulihan, (2) berharaplah senantiasa karena masa depan yang cerah itu sungguh ada, (3) bersyukurlah dan bersukacitalah di dalam Tuhan. Ucapan syukur dan sukacita tidak perlu menunggu situasi berubah terlebih dahulu. Ucapan syukur dan hati yang bersukacita adalah sesungguhnya tindakan iman. 2 Korintus 5:7 menjelaskannya dengan amat terang: “Sebab hidup kami ini adalah hidup karena percaya, bukan karena melihat.” Paulus, ketika didera siksa di dalam penjara, bahkan berkali-kali menasihatkan jemaat di Filipi untuk tetap bersukacita. Itulah ciri kedewasaan iman Kristen.

Babel adalah bangsa yang tidak beriman: lihat betapa jahat dan bejat tingkah polahnya. Israel juga tidak suci-suci amat. Ketika dihajar Tuhan, sibuk dengan keluh kesah. Jika diringkaskan, iman Kristen yang matang menurut kitab Habakuk ditandai oleh dua hal ini: (1) setia di dalam kebenaran dan kekudusan hidup, (2) setia di dalam bersukacita dan mengucap syukur - apapun situasinya. 

Terima kasih kepada Isna C. Rambitan yang telah menyunting sebagian dari tulisan ini sehingga menjadi lebih baik dan nyaman untuk dibaca.